uts


                       NAMA : Bustaman Ghozali
    NIM : 1871512453

RANGKUMAN BUKU


JUDUL        : Konvergensi Media - Perbauran Ideologi, Politik, dan Etika Jurnalisme
PENULIS    : Dudi Iskandar
PENERBIT : Penerbit Andi (Anggota IKAPI)
TAHUN       : 2018
TEBAL        : 333



A.    KONVERGENSI MEDIA
Media massa mengalami beberapa tahap perubabahan, transformasi, dan bahkan bermetamorfosis. Roger Fidler menyebut fase berbagai perkembangan media dengan nama mediamorfosis. Dalam pandangan Filder, mediaformosis memiliki tiga konsep. Yaitu koevolusi, konvergensi, dan kompleksitas. Mediamorfosis sebagai transformasi media komunikasi yang biasanya ditimbulkan akibat hubungan timbal balik yang rumit antara berbagai kebutuhan yang dirasakan, tekanan persaingan politik, serta berbagai inovasi sosial dan teknologi.
Perkembangan teknologi komunikasi (massa) bermula dari mesin cetak yang menghasilkan surat kabar dan buku. Teknik fotografi yang menghasilkan film. Teknik gelombang elektromagnetik yang menghasilkan radio dan televisi, dan teknologi berbasis internet yang kemudian mempopulerkan media baru (new media). Internet memicu dua perubahan mendasar dalam lingkungan media massa. Pertama, perubahan proses jurnalistik, termasuk digitalisasi dan perubahan bentuk dan format organisasi media.
Teoretikus konvergensi media Henry Jenkins mendefinisikan konvergensi sebagai proses penyatuan yang terus-menerus terjadi diantara berbagai bagian media seperti teknologi, industri, konten, dan khalayak. Sementara, Burnett and Marshall mendefinisikan konvergensi sebagai penggabungan industri media, telekomunikasi, dan komputer menjadi sebuah bentuk yang bersatu dan berfungsi sebagai media komunikasi dalam bentuk digital. Key Concepts in Journalism Studies menegaskan konvergensi media adalah pertukaran media di antara semua media yang berbeda karateristik dan platformnya.
Konvergensi media bisa dipahami sebagai sebuah integrasi atau penyatuan beberapa media konvensional dengan kemajuan teknologi informasi menjadi satu atap atau perusahaan. Konvergensi juga merupakan aplikasi dari teknologi digital, yaitu intergrasi teks, surat, angka, dan gambar. Dailey, Demo, dan Spillman menjelaskan aktivitas konvergensi media meliputi cross-promotion(lintas promosi), cloning (penggandaan), coopetition (kolaborasi), content sharing (berbagi isi), dan full convergence (penyatuan). Dengan konvergensi media, berita yang dahulu disebut mengabarkan peristiwa yang sudah terjadi, kini definisi tersebut berubah menjadi peristiwa yang sudah terjadi.
Konvergensi media ternyata bukan hanya berpengaruh pada proses jurnalistik, tetapi juga menyangkut ke berbagai aspek kehidupan. Berdampak pada konsumsi media masyarakat, persepsi publik, penyebaran informasi, dan literasi media. Konvergensi media akan menghadirkan kontruksi sosial sosial media baru yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kontruksi sosial media baru dihasilkan dari proses ekspresi dan proyeksi sosial pekerja di media yang berbentuk siaran, tayangan, dan tulisan. 

B.     MEDIA SEBAGAI AKTOR POLITIK

Dalam teori wacana Michel Foucault, ada beberapa istilah kunci. Selain wacana, ada juga istilah episteme, kuasa, pengetahuan, arkeologi, dan geneaologi. Dalam wacana Foucalt, istilah-istilah tersebut kerap berkelindan, saling silang, dan berebut muncul ke permukaan. Wacana merupakan kumpulan pernyataan yang dihasilkan dari relasi kekuasaan dan pengetahuan melalui mekanisme yang bersifat plural, produktif, dan menyebar serta dikontruksi dengan cara stimulasi. Kekuasaan versi Foucalt yang menyebar melalui bahasa dari berbagai sektor membentuk wacana yang dibuat oleh beragam media. Inilah yang disebut representasi ideologi kekuasaan dalam konvergensi media seperti dipaparkan John B. Thompson. Bahwa ideologi ada dan dipergunakan untuk membangun dan mempertahankan relasi kekuasaan secara sistematis bersifat asimetris.
Pada kampanye Pilpres 2014 sangat terasa pilihan-pilihan politik media terhadap pasangan tertentu. Pilihan politik harus hati-hati diambil media karena akan berbenturan dengan sikap indepedensi media. Banyak media yang memilih dan berafiliasi dengan partai politik atau simpatisan kandidat tertentu. Inilah salah satu resiko media dikuasai pedagang dan politisi. Para pemilik yang berlatar belakang pengusaha dan politisi tidak memahami kode etik jurnalistik dan undang-undang secara mendalam. Harus diakui bahwa keberpihakan politik dalam kampanye Pilpres 2014 membuat media-media yang berafiliasi atau dimiliki oleh politisi dari partai politik tertentu kualitas beritanya sangat buruk. Bahkan, untuk sekadar memenuhi kode etik jurnalistik saja tidak bisa.
Keberpihakan media secara politik lebih baik dideklarasikan secara terbuka. Dengan begitu publik akan mengetahuinya. Publik akan melihat media yang memiliki afiliasi dengan partai politik tertentu. Hampir sebagian media pada kampanye Pilpres 2014 larut ke isu pemilu dan pilpres. Munculnya kecendrungan-kecendrungan penilaian terhadap calon tertentu. Namun demikian, yang harus digaris bawahi adalah standar kode etik jurnalistik. Masyarakat yang akan menguji dan menilai berita dari satu media. Komisi Penyiaran Indonesia sudah membaca pertarungan media pada Pilpres 2014 akan berlangsung terbuka, vulgar, dan cenderung sarkastis. Oleh sebab itu, KPI bersama Komisi Pemilian Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) membuat kesepakatan tentang rambu-rambu aktivitas media penyiaran. Bahwa ranah publik tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau politik tertentu.

                    
C.    POST JOURNALISM

Perkembangan jurnalisme kontemporer sangat mengerikan karena jurnalisme berubah terus. Jurnalisme ditantang oleh teknologi komunikasi yang lebih baru yang menyebabkan jurnalisme harus menyesusaikan dirinya. Namun, patokan-patokan membuat kebenaran (truth) harus terus disampaikan. Kebenaran harus disampaikan, laporan komitmen terhadap fakta. Perbedaan sudut pandang terhadap realitas, pengambilan sudut berita yang berlainan dan perbedaan pemahaman terhadap kode etik jurnalistik menjadi sesuatu yang lumrah. Beragam berita terhadap satu realitas atau peristiwa yang sama tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang tabu.
Kamus Oxford mendefinisikan post-truth sebagai kondisi ketika fakta dalam jurnalistik tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Fakta dan peristiwa dibungkus oleh media dengan sangat ciamiknya sehingga menjadikan lebih indah dari yang sebenarnya. Ia tampak lebih faktual dari fakta yang sebenarnya. Dalam konteks hubungan media dengan jurnalistik politik realitas, kepentingan publik sangat sulit dipisahkan dari kepentingan partai politik atau kandidat ketika dibungkus oleh media televisi, khususnya. Karena realitas sudah begitu kompleks, maka apakah betul ini adalah era post-journalism. Inilah era bahwa fakta tidak begitu penting lagi, tetapi yang penting sentimen yang dibangunnya. Dari fakta ke sentimen, dari objektif ke subjektif. Jadi, yang dibutuhkan adalah efek subjektif.
Fenomena post-truth sangat menggila di media sosial. Di dunia jurnalisme berita hoax adalah sala satu indikasi post-truth. Hal ini menunjukkan kegamangan jurnalisme dalam menghadapi realitas politik yang penuh dengan kebohongan dan tipu daya. Dengan demikian, post-truthdan post- journalism adalah satu jalur berbeda nama. Dalam post-journalism tidak ada standar etika dan moralitas yang bisa dipegang. Realitas jurnalisme ini disebut Agus Sudibyo dengan Nihilisme Moralitas Bermedia. Masyarakat kesulitan untuk membedakan antara berita dan hoax.
Dalam post-journalism, jurnalisme terjebak dalam kontestasi dengan media sosial, khususnya dalam proses penyebaran informasi. Padahal ranah kedua bidang itu berbeda, demikian kecepatan adalah wilayah media sosial bukan wilayah jurnalisme. Namun, tekanan ekonomi-bisnis dan politik-kekuasaan sering kali memerangkap jurnalisme dalam kompetisi tersebut. Akibat kontestasi yang tidak seimbang plus beragam faktor diluar jurnalisme, kualitas dan dunia jurnalisme bergeser serta terjadi penurunan martabatnya.

Comments